BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Alat penyuling (distillation) kontinyu memiliki pendidih ulang (reboiler) yang mendapat umpan berupa zat
cair secara kontinyu yang merupakan komponen yang akan dipisahkan. Karena
adanya panas yang masuk, zat cair masuk akan diubah sebagian menjadi uap, dalam
hal ini uap akan kaya dengan komponen yang volatil (mudah menguap). Apabila
perbedaan titik didih dari komponen tersebut relatif tinggi, maka uapnya hampir
merupakan komponen murni.
Akan tetapi apabila perbedaan titik didih
dari komponen tersebut, tidak terlalu besar, maka uap merupakan campuran dari
beberapa komponen. Kemudian uap campuran tersebut dikondensasikan, kemudian zat cair hasil
kondensasi, sebagian dikembalikan ke dalam kolom, yang disebut dengan refluks. Cairan
yang dikembalikan tersebut (refluks) diusahakan agar dapat kontak secara lawan
arah dengan uap, sehingga diharapkan hasil atas (overhead) akan meningkat kemurniannya. Untuk mendapatkan kondisi
tersebut (kemurnian meningkat), diperlukan uap yang banyak agar dapat digunakan
sebagai refluks dan hasil atas. Kondisi tersebut harus diimbangi dengan panas
yang masuk pada reboiler harus besar
(ditingkatkan). Hal ini perlu dipertimbangkan, khususnya dalam rangka
penghematan energi.
Distilasi adalah sistem perpindahan
yang memanfaatkan perpindahan massa. Masalah perpindahan massa dapat
diselesaikan dengan dua cara yang berbeda. Pertama dengan menggunakan konsep
tahapan kesetimbangan dan kedua atas dasar proses laju difusi. Distilasi
dilaksanakan dengan rangkaian alat berupa kolom sehingga dengan pemanasan
komponen dapat menguap, terkondensasi, dan dipisahkan secara bertahap
berdasarkan tekanan uap / titik didihnya. Proses ini memerlukan perhitungan
tahap kesetimbangan (Brotherhood, 2011).
Dalam lingkup teknik
kimia, pemahaman tentang kesetimbangan uap-cair sangat diperlukan karena banyak
proses industri kimia yang memerlukan konsep kesetimbangan uap-cair dalam
pengembangannya. Oleh karena itu, penting bagi seorang
sarjana teknik kimia untuk mempelajari kesetimbangan uap cair karena
penerapannya cukup banyak pada proses industri kimia.
1.2
Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam percobaan kesetimbangan uap-cair
ini adalah bagaimana cara untuk mencari hubungan antara komposisi uap dengan
komposisi cairan dengan suhu dan tekanan pada kondisi kesetimbangan uap-cair.
1.3
Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mencari hubungan
antara komposisi uap dengan komposisi cairan dengan suhu dan tekanan pada
kondisi kesetimbangan uap-cair.
1.4
Manfaat Percobaan
Manfaat dari percobaan ini
adalah praktikan dapat mengetahui hubungan antara komposisi uap dengan komposisi cairan dengan suhu dan
tekanan pada kondisi kesetimbangan uap-cair.
1.5
Ruang Lingkup Percobaan
Praktikum Kimia Fisika dengan
modul percobaan Kesetimbangan Uap-Cair ini
dilakukan di Laboratorium Kimia Fisika, Fakultas Teknik, Departemen Teknik Kimia, Universitas
Sumatera Utara dan dalam kondisi ruangan:
Tekanan udara : 760
mmHg
Temperatur : 30 oC
dilakukan dalam
ruangan dengan menggunakan bahan–bahan antara lain Kalium
hidroksida (KOH), asam
phospat (H3PO4), dan aquadest (H2O), dengan
perbandingan asam phospat dan aquadest
sebesar 1:3. Sedangkan untuk peralatan digunakan alat-alat seperti labu distilasi, termometer,
pendingin leibig, gelas ukur, bunsen, erlenmeyer, buret, piknometer, corong
gelas, klem, dan statif.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Kesetimbangan Uap-Cair
Perhitungan kesetimbangan
uap cair dilakukan untuk menentukan komposisi fasauap dan fasa cair suatu
campuran yang berada dalam keadaan setimbang. Kesetimbanganuap cair dapat
digambarkan dengan skema berikut:
|
Fase Uap
μivyi
TvPv
FaseCair
μiL xi TlPl
|
Perhitungan
kesetimbangan uap cair diselesaikan dengan menerapkan kriteriakesetimbangan uap-cair. Dua fasa berada dalam
kesetimbangan termodinamik apabilatemperatur dan tekanan kedua fasa sama serta
potensial kimia masing-masing komponenyang terlibat di kedua fasa bernilai
sama. Dengan demikian, pada temperatur dan tekanantertentu, kriteria
kesetimbangan uap cair dapat dinyatakan sebagai berikut:
μiV= μiL
dimana i = 1 sampai N
dimana μi adalah
potensial kimia komponen i, N adalah jumlah komponen, V dan L
menyatakan fasa uap
dan fasa cair.Potensial kimia adalah besaran yang tidak mudah dipahami dan juga
sukardihubungkan dengan variabel-variabel yang mudah diukur seperti tekanan,
temperatur, dankomposisi. Untuk mengatasi hal tersebut, Lewis mengemukakan
sebuah konsep yangdikenal sebagai konsep fugasitas. Berdasarkan konsep ini,
kesamaan potensial kimia dapatdiartikan pula sebagai kesamaan fugasitas tanpa
mengurangi arti yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, kriteria
kesetimbangan uap-cair dapat dituliskan kembalisebagai:
fiV= fiL,
i = 1 sampai N
dimana fi
adalah fugasitas komponen i(Sperisa,
2011).
2.2 Model Persamaan Kesetimbangan Uap-Cair (VLE)
Sederhana
Ketika termodinamika diterapkan untuk
kesetimbangan uap-cair, tujuannya adalah menemukan temperature, tekanan, dan
komposisi fasa dalam kesetimbangan dengan perhitungan. Sesungguhnya,
termodinamika menyediakan ruang lingkup kerja matematis untuk hubungan
sistematis, ekstensi, generalisasi, avaluasi, dan interpretasi data. Lebih dari
itu, ini berarti dengan prediksi berbagai teori fisika molekular dan mekanik
statistik dapat diterapkan untuk tujuan praktis. Tak satupun ini dapat
diselesaikan tanpa model untuk prilaku sistem dalam kesetimbangan uap-cair.
Tiga model yang paling sederhana adalah Hukum Dalton, Hukum Henry dan Hukum
Roult ( Heri, 2011).
2.2.1 Hukum Dalton
Hukum
Dalton menyatakan bahwa tekanan total suatu campuran gas merupakan jumlah dari
tekanan-tekanan parsial dari semua komponen-komponennya.
Tekanan parsial suatu komponen
sebanding dengan banyaknya mol komponen tersebut. Fraksi mol untuk
masing-masing komponen adalah :
dimana :
P
= Tekanan total (mmHg)
Pi
= Tekanan parsial komponen i ( i = A, B, ..., N)
2.2.2 Hukum Henry
Hukum
Henry menyatakan bahwa tekanan parsial suatu komponen (A) di atas larutan
sebanding dengan fraksi mol komponen tersebut dalam larutan. Penyataan ini
dapat dituliskan :
dimana :
PA= Tekanan parsial komponen
A di atas larutan
XA= Fraksi mol komponen A
H
= Konstanta hukum Henry
Harga konstanta hukum Henry berubah
terhadap perubahan temperatur.
Berdasarkan
kurva hubungan tekanan parsial terhadap temperatur, ditunjukkan bahwa kurva
tekanan parsial dari tiap-tiap komponen menjadi lurus pada ujung kurva, dimana
komponen dalam larutan tersebut sedikit. Melalui penggunaan hukum Henry pada
perubahan temperatur yang kecil, sehingga konstanta hukum Henry masih dianggap
konstan, maka perubahan tekanan parsial terhadap fraksi mol pada ujung kurva
tersebut dapat dianggap megikuti hukum Henry secara tepat ( Heri, 2011).
2.2.3 Hukum Raoult
Hukum
Raoult juga memberikan hubungan antar tekanan parsial suatu zat di atas larutan
dengan fraksi molnya. Hukum Raoult dapat didefinisikan untuk phase uap-cair
dalam kesetimbangan, sebagai berikut :
dimana, PAadalah tekanan parsial komponen A di atas larutan
dengan fraksi mol A adalah XAdan
adalah tekanan uap
komponen A dalam keadaan murni pada temperatur larutan tersebut.
Untuk komponen kedua dari campuran binair (komponen
B), dapat dituliskan :
Disini PB menunjukkan tekanan parsial komponen B di atas
larutan, dan
merupakan tekanan uap murni komponen B pada
temperatur larutan.
Jika P adalah tekanan total, maka
:
Karena YA merupakan fraksi komponen A dalam uap, adalah sama
dengan perbandingan tekanan parsial A terhadap tekanan total, maka :
Hukum
Raoult berlaku untuk larutan ideal, seperti larutan benzena-toluena,
n-heksana-heptana, dan metil alkohol-etil alkohol, yang biasanya zat-zat
tersebut mempunyai sifat kimia yang sama atau secara kimia mirip satu sama
lain.
Untuk
larutan encer hukum Raoult berlaku bagi pelarutnya. Kenaikan temperatur larutan
akan memperbesar penguapan yang berakibat pula memperbesar tekanan uap larutan
atau tekanan total (
Heri, 2011).
2.3 Aplikasi
Dalam Industri
“Proses Exchange
Air-Hidrogen Sulfida”
Alat proses destilasi berbeda dalam tekanan uap untuk
jenis isotop. Karena perbedaan ini
sangat kecil, proses biasanya diulang untuk beberapa kali dalam kolom
fraksinasi, dan berakhir di sebuah riam dari beberapa tahapan. Cairan diuapkan
pada aliran bottom dan uap
dikondensasikan pada bagian top
sehingga hubungan counter current
berkesinambungan merupakan hal yang tak dapat dihindari.
Temperatur rangkap pertama kali diketahui sebagai
proses GS (Girdler-Sulfide) tapi
dengan menambah proses recovery,
proses ini dinamakan proses exchange air-hidrogen
sulfida. Sebuah flowsheet yang sangat sederhana untuk proses ini ditunjukkan
dalam gambar berikut.
Gambar 1.1 Flowsheet Proses Exchange
Air-Hidrogen Sulfida
Karakteristik proses ini secara umum adalah sebagai berikut.
Reaksi pengubahan Deuterium
antara air dan hidrogen sulfida adalah sebagai berikut.
H2S(l)
+ HDS(g)
HDO(l)
+ H2S(g)
Reaksi ini berjalan sangat cepat dan memiliki konstanta keseimbangan 2,32
pada 32 oC. Faktor ketergantungan temperatur dari pemisahan uap-cair adalah faktor β, dimana:
β menurun seiring turunnya temperatur. Ketika sebuah proses berada di
bawah tempertaur rangkap,
βepektif =
pengaruh temperatur lebih dingin seharusnya lebih baik. Namun, di bawah
28 oC, H2S akan membentuk suatu hidrat. Batas temperatur dingin ini dinaikkan ke 30 oC. Temperatur
panas tertinggi adalah dipilih untuk recovery
tetapi mengoperasikan tower panas di
luar 130 oC adalah kurang ekonomis. Hal ini mengarahkan untuk
menurunkan diameter tower panas dan
pemakaian steam, dan mengimbangi
permintaan perolehan di recovery.
Pada
20 atm (2MPa), penyimpanan tower
berada pada suhu sekitar 30 oC, untuk mengikuti formasi hidrat.
Aliran cepat naik pada temperatur kondensasi pada 20 atm adalah alasan lain
untuk tekanan optimum ini.
Benedict,
Pigford, dan Levi memberikan analisis matematika untuk proses GS ini.
Kekurangan proses ini adalah tingginya laju korosi alami dari endapan cairan. Plant berkapasitas 400 Mg/tahun ini
membutuhkan inventasi 800 Mg dari H2S yang mana adalah sangat
toksik, dan menimbulkan bau tidak enak walau pada konsentrasi rendah.
Pengukuran
kecukupan harus dipenuhi untuk seleksi material, pabrikasi, purifikasi umpan,
umpan, dan pembuangan ke air dan ke udara bebas. Dan yang paling penting adalah
proses exchange ini tidak akan
berbahaya pada populasi mahluk hidup dan lingkungan (Lee, 2006).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Percobaan
Larutan KOH :
1 N
Volume :
200 ml
Larutan biner : 245 ml
Larutan aquadest :
180 ml
Larutan asam phospat : 65 ml
Densitas air :
0,99568 gr/ml
Temperatur distilat pertama kali : 98 oC
Tabel
4.1 Hasil Perhitungan Densitas Distilat
|
Distilat
|
T (oC)
|
Vol Distilat
( ml )
|
Vol KOH
( ml )
|
Massa Distilat
( gr )
|
Densitas
( gr/ml )
|
|
I
II
III
IV
V
|
98
100
102
104
106
|
43,9
95,3
38,5
27,2
20,3
|
29,6
40,5
50,4
55,6
60,5
|
44,001
95,519
38,589
27,263
20,347
|
1,0020
1,0014
1,0009
0,9873
0,8714
|
|
|
|
|
|
|
|
Tabel 4.2 Hasil
Perhitungan Sebelum Pemanasan
|
No
|
r (gr/ml)
|
XHap
|
|
|
1
|
1,0023
|
0,062
|
0,938
|
Tabel
4.3 Hasil Perhitungan Sesudah Pemanasan
|
No
|
T (oC)
|
r distilat
|
X
|
y
|
||
|
H2O
|
H3PO4
|
H2O
|
H3PO4
|
|||
|
1
|
98
|
1,76
|
0,987
|
0,013
|
0,9177
|
0,0823
|
|
2
|
100
|
3,82
|
0,992
|
0,008
|
0,948
|
0,052
|
|
3
4
5
|
102
104
106
|
1,54
1,05
0,78
|
0,974
0,956
0,9298
|
0,026
0,044
0,0702
|
0,843
0,755
0,649
|
0,157
0,245
0,351
|
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengaruh
Temperatur terhadap
Tekanan Uap Air (H2O) (Teori)
Gambar 4.1
merupakan grafik yang menunjukkan pengaruh tekanan uap air terhadap suhu secara
teori.
Gambar 4.1 Grafik P°H2O vs Temperatur (°C) (Teori)
(Perry, 1999)
Pada
gambar 4.1 Grafik P° H2O vs Temperatur (°C) (teori) yang diperoleh
adalah berupa grafik dengan garis lurus. Hubungan ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi temperatur maka akan semakin besar pula P° H2O
nya.
Hal ini dapat dilihat dari persamaan Antoine yang
menyatakan tekanan uap komponen murni, yaitu :
Dimana : Psat = Tekanan uap jenuh (mmHg)
A,B,C = Konstanta
Antoine
T = Temperatur (oC)
Dari persamaan Antoine, semakin tinggi suhu (T), maka
tekanan uap (Psat) dari suatu senyawa akan semakin tinggi juga (Smith,
2005).
4.2.2
Pengaruh Suhu terhadap Fraksi Mol Cair
Air
Gambar 4.2 merupakan
gafik yang menunjukkan pengaruh suhu terhadap fraksi mol cair secara teori.
Gambar
4.2 Grafik Temperatur (oC) vs
XH2O (Teori)
(Perry, 1999)
Gambar 4.3
merupakan grafik yang menunjukkan pengaruh suhu terhadap fraksi mol cair air
berdasarkan praktek.
Gambar 4.3
Grafik Temperatur (oC) vs
(Praktek)
Pada Grafik 4.2
terlihat bahwa fraksi mol cair air
secara teori menurun seiring dengan
bertambahnya suhu. Hal ini disebabkan pada suhu yang semakin tinggi di atas
titik didih air 100 oC, air sudah menguap sehingga jumlah air dalam
bentuk cair makin sedikit. Akibatnya
semakin berkurang pula.
Pada Gambar 4.3
Grafik Temperatur (oC) vs XH2O
(praktek) ditunjukkan grafik suhu vs
fraksi mol cair air yang diperoleh secara praktek. Hasil yang diperoleh dari
fraksi mol cair air praktek relatif menurun. Nilai fraksi yang diperoleh pada praktek, pada suhu 98 oC
diperoleh fraksi mol sebesar 0,987. Kemudian pada suhu 100 oC menjadi 0,992, pada suhu 102 oC turun menjadi 0,974, pada suhu 104 oC turun menjadi 0,956, dan pada suhu 106 oC turun menjadi 0,9298. Dari grafik yang diperoleh tidak sesuai dengan
teori dimana fraksi mol cair air XH2O
relatif
semakin menurun seiring dengan bertambahnya suhu. Adapun
penyebab penyimpangan pada praktek tersebut adalah :
1.
Pembacaan suhu pada termometer yang kurang tepat.
2.
Penentuan volume pentiter yang kurang tepat.
3. Pengukuran volume dan massa cairan yang tidak tepat
4.2.3 Pengaruh Suhu terhadap Fraksi Mol Cair Asam Phospat
Gambar 4.4
merupakan grafik yang menunjukkan pengaruh suhu terhadap fraksi mol cair asam phospat berdasarkan teori.
Gambar 4.4 Pengaruh
Suhu terhadap Fraksi Mol Cair Asam Phospat (Teori)
(Perry, 1999)
Gambar 4.5
merupakan grafik yang menunjukkan pengaruh suhu terhadap fraksi mol cair asam phospat berdasarkan praktek.
Gambar 4.5 Pengaruh Suhu terhadap Fraksi Mol Cair Asam Phospat (Praktek)
Dari
Gambar 4.4 Grafik Temperatur (oC) vs XHAp diperoleh bahwa pada grafik temperatur (oC) vs
fraksi mol cair asam phospat yang secara teori berupa garis lurus.
Hubungan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur maka akan semakin
besar pula XHAp nya, karena pada suhu diatas 100 oC
air sudah menguap sedangkan asam asetat belum.
Pada gambar 4.5 Grafik Temperatur vs XHAp ditunjukkan grafik suhu vs fraksi mol cair asam phospat yang diperoleh secara praktek. Secara teori, fraksi mol cair asam phospat XHAp bertambah seiring dengan bertambahnya suhu
(Perry, 1999). Dari percobaan yang
telah dilakukan juga diperoleh bahwa fraksi mol cair dari asam phospat relatif semakin meningkat dengan adanya
peningkatan suhu
karena jika suhu lebih dari 100 oC maka air akan menguap sehingga
fraksi mol cair asam phospat meningkat. Dari hasil percobaan
diperoleh pada suhu 98 oC fraksi mol cair asam phospat sebesar 0,013, pada suhu 100 oC mengalami sedikit penurunan menjadi 0,008, pada suhu 102 oC terjadi kenaikan menjadi 0,026, pada suhu 104 oC naik
menjadi 0,044, dan pada suhu 106 oC naik menjadi 0,0702. Dari grafik yang diperoleh telah sesuai dengan teori dimana fraksi mol
cair asam phospat XHAp relatif
semakin meningkat seiring dengan bertambahnya suhu.
4.2.4
Pengaruh Suhu terhadap
Fraksi Mol Uap Air
Gambar 4.6
merupakan grafik yang menunjukkan pengaruh suhu terhadap fraksi mol uap air
berdasarkan teori.
Gambar
4.6 Pengaruh Suhu terhadap Fraksi Mol Uap Air (Teori)
(Perry, 1999)
Gambar 4.7
merupakan grafik yang menunjukkan pengaruh suhu terhadap fraksi mol uap air
berdasarkan praktek.
Gambar 4.7 Pengaruh
Suhu terhadap Fraksi Mol Uap Air (Praktek)
Dari
gambar 4.6 Grafik Temperatur vs YH2O di atas ditunjukkan bahwa
grafik temperatur vs fraksi mol uap air secara teori berupa garis lurus menurun
ke bawah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur maka akan semakin
kecil pula YH2O. Hal ini terjadi karena pada suhu 100oC (titik didih air), air sudah
mulai menguap sedangkan asam asetat belum. Tetapi jika pemanasan terus
dilanjutkan, maka pada suatu saat asam asetat akan mulai menguap juga.
Dimana semakin
menurun fraksi mol uap air (y1), maka tekanannya (P) akan semakin meningkat
dan menurut persamaan Antoine, meningkatnya tekanan maka suhu juga meningkat.
Jadi, menurunnya fraksi mol uap air akan seiring dengan naiknya suhu (Smith,
2005).
Pada Gambar
4.7 menunjukkan ketidaksesuaian dengan
bentuk grafik teorinya; grafik garis lurus yang menurun namun pada praktek
tetap diperoleh garis yang realtif turun. Pada suhu 98 oC
diperoleh fraksi mol uap air adalah 0,9177 dan terus menurun pada suhu
106 oC adalah 0,9298.
Hal ini disebabkan pada suhu 100 oC (titik didih air), air sudah mulai menguap sedangkan
HAp belum. Tetapi jika pemanasan terus dilanjutkan, maka pada suatu saat asam phospat
akan mulai menguap juga. Akibatnya fraksi uap H2O akan berkurang
karena adanya uap asam phospat yang tercampur dengan uap air.
4.2.5 Pengaruh Suhu
terhadap Fraksi Mol Uap Asam Phospat
Gambar 4.8
merupakan grafik yang menunjukkan pengaruh suhu terhadap fraksi mol uap asam phospat berdasarkan teori.
Gambar
4.8 Pengaruh Suhu terhadap Fraksi Mol Uap Asam Phospat (Teori)
(Perry, 1999)
Gambar 4.9
merupakan grafik yang menunjukkan pengaruh suhu terhadap fraksi mol uap asam phospat berdasarkan praktek.
Gambar
4.9 Pengaruh Suhu terhadap Fraksi Mol Uap Asam Phospat (Praktek)
Pada Grafik 4.8
terlihat bahwa fraksi mol uap asam phospat YHAp secara teori bertambah seiring dengan bertambahnya suhu.
Hal ini disebabkan pada suhu sekitar 100 oC, asam phospat mulai menguap. Jika pemanasan terus dilanjutkan, maka
asam phospat yang menguap akan semakin banyak. Akibatnya YHAp semakin bertambah pula. Dari grafik di atas terlihat bahwa grafik temperatur terhadap YHAp secara teori berupa garis lurus. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
temperatur maka akan semakin besar pula YHAp nya.
Pada Gambar
4.9 ditunjukkan grafik praktek tidak
berbentuk garis lurus yang meningkat seperti bentuk grafik teorinya namun pada
praktek tetap diperoleh garis yang relatif naik. Pada suhu 98 oC
diperoleh fraksi mol uap asam phospat adalah 0,0823 dan pada suhu 106 oC
adalah 0,351. Hal ini disebabkan pada suhu sekitar 100 oC, asam phospat
mulai menguap. Jika pemanasan terus dilanjutkan, maka asam phospat yang menguap
akan semakin banyak. Akibatnya
semakin bertambah pula.
4.2.6 Pengaruh Fraksi
Mol Uap Air terhadap Fraksi Mol Cair Air
Gambar 4.10
merupakan grafik yang menunjukkan pengaruh fraksi mol uap air terhadap fraksi
mol cair air berdasarkan teori.
Gambar 4.10 Pengaruh Fraksi Mol Uap Air
terhadap Fraksi Mol Cair Air (Teori)
(Perry, 1999)
Gambar 4.11 merupakan
grafik yang menunjukkan pengaruh fraksi mol uap air terhadap fraksi mol cair
air berdasarkan praktek.
Gambar 4.11 Pengaruh Fraksi Mol Uap Air terhadap Fraksi Mol Cair Air
(Praktek)
Pada Grafik 4.10 grafik
terhadap
secara teori terlihat bahwa
semakin bertambahnya fraksi mol cair air maka semakin bertambah pula fraksi mol
uap air, dan sebaliknya. Fraksi mol uap H2O akan berkurang seiring
dengan berkurangnya fraksi mol cair H2O. Dengan demikian, grafik yang diperoleh
adalah grafik yang berupa garis lurus yang semakin meningkat.
Pada Grafik 4.11
nilai fraksi mol uap air dan fraksi mol cair air pada suhu 98 oC dan 106 oC berturut-turut adalah 0,9177; 0,987 dan 0,649;
0,9298. Dari grafik di atas terlihat
bahwa grafik
terhadap
secara teori adalah berupa garis lurus dan
grafik secara praktek telah sama dengan garfik teori yaitu grafik yang
meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar
maka akan semakin besar
pula
-nya.
4.2.7 Pengaruh Fraksi Mol Uap Asam Phospat terhadap Fraksi Mol Cair Asam Phospat
Gambar 4.12
merupakan grafik yang menunjukkan pengaruh fraksi mol uap asam phospat terhadap fraksi mol cair asam phospat berdasarkan teori.
Grafik 4.12 Pengaruh Fraksi Mol Uap Asam Phospat terhadap Fraksi Mol Cair Asam Phospat (Teori)
(Perry, 1999)
Gambar
4.13 Pengaruh Fraksi Mol Uap Asam Phospat terhadap Fraksi Mol Cair Asam Phospat (Praktek)
Dari
Gambar 4.12 Grafik YHAp vs XHAp di
atas terlihat bahwa grafik fraksi mol uap asam phospat
vs fraksi mol cair asam asetat secara teori berupa garis lurus. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin besar YHAp maka akan semakin besar pula XHAp nya.
Dari
Gambar 4.13 Grafik YHAp vs XHAp di atas terlihat bahwa grafik fraksi mol uap asam phospat vs fraksi mol cair asam phospat secara praktek sama dengan teori, yang
seharusnya berupa garis lurus (Smith,
2005). Pada teori menunjukkan bahwa semakin
besar YHAp maka akan semakin besar pula XHAc
nya, karena tekanan uap jenuh asam phospat makin lama akan mendekati tekanan
udara. Dari percobaan yang telah dilakukan, hasil percobaan sesuai dengan
teori, yaitu YHAp berbanding lurus dengan XHAp (Smith, 2005).
Jika
kita bandingkan grafik teori dengan praktek, penyimpangan hanya terjadi pada
grafik dalam gambar 4.3, 4.5, 4.7 dan 4,9 dimana penyimpangan sering terjadi
pada saat suhu mencapai 100 oC. Penyimpangan dapat terjadi karena
kesalahan operasional maupun instrumental seperti kekurangtelitian dalam
melihat termometer, penutupan labu distilasi yang kurang rapat, sehingga
banyaknya uap yang keluar.
isi LINK downloadnya beda dengan yang anda paparkan diatas,tapi nice info
ReplyDelete